Senin, 11 Oktober 2010

alkulturasi

1. Teori Analisis Kebudayaan Kebudayaan Implisit
Kebuyaan implicit bermakna kebuyaan immaterial yang bentuknya tidak tampak sebagai benda namun tersirat dalam nilai/norma budaya masyarakat, misalnya bahasa. Teori ini mengacu pada beberapa asumsi antara lain:
1. Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif
Frake (1968) mengemukakan bahwa manusia mempunyai wilayah skema kognitif sendiri. Dengan ini manusia kemudian menetapkan strategi berpikir dan bertindak yang dipengaruhi oleh system kognitif etnografi.
2. Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan
3. Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi
4. Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi
2. Teori Analisis Interaksi Antarbudaya
Teori ini didasarkan pada proses komunikasi antar manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda. Adapun proses pendekatannya melalui Pendekatan Jaringan Metateoritikal mengacu pada pengertian nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat sangat menentukan otonomi individu, ketergantungan individu dengan orang lain.

3. Teori Pertukaran
Teori ini dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (Liliweri, 1991). Teori ini mengatakan hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan disebabkan oleh adanya dinamika perkembangan hubungan antarpribadi. Selain itu factor tingkat pengalaman berupa tingkat motivasi dan sasaran individu juga turut mempengaruhi.

4. Teori Pengurangan tingkat ketidakpastian
Berger (1982) mengemukakan salah satu fungsi dari komunikasi adalah sebagai media untuk mengurangi ketidakpastian antara komunikator dan komunikan.

5. Teori Determinasi Teknologi
Teori ini mengungkapkan suatu peradaban modern merupakan hasil dari suatu penemuan teknologi baru yang mempengaruhi pola suatu kebudayaan.

6. Face-Negotiation Theory.
Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
7. Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan.
Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Masalah yang dihadapi negara dalam proses Akulturasi dan Inkulturasi Budaya
Arus globalisasi telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi menimbulkan kecenderungan yang mengarah pada memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri. Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat, misalnya pergaulan bebas.
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang mempunyai nilai-nilai budaya dasar yang sangat kental dan tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu dampak dari proses Akultutasi dan Inkulturasi budaya yang paling dirasakan adalah bergesernya nilai-nilai budaya lokal ke arah budaya barat.
Hal lain yang menjadi masalah bagi negara dalam proses Akultuasi dan Inkulturasi adalah rendahnya pemahaman dalam pemakaian bahasa indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai rasa.
Saat ini ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya) dan lu (kamu). Selain itu kita sering dengar anak muda mengunakan bahasa Indonesia dengan dicampur-campur bahasa inggris seperti OK, No problem dan Yes’. Fenomena ini merupakan dampak dari arus iformasi yang tersalurkan melalui media TV, Surat Kabar, Internet dan sebagainya.
Gaya berpakaian remaja Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah berubah kearah barat. Ada kecenderungan bagi remaja memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya ini diadopsi dari film-film maupun berbagai media lainnya yang ditransformasikan barat ke dalam masyarakat Indonesia.

2.2 Peran Agama dalam menyikapi proses Akulturasi dan Akulturasi Budaya Bangsa
Agama memiliki makna sebagai ajaran yang membebaskan dan memberikan pencerahan (enlightenment) kepada umat manusia. Posisi agama dalam kehidupan tidaklah statis dan konstan. Kadang ia disanjung, dihormati, dan dibela. Tapi ia terkadang juga dicurigai, dicaci dan kalau perlu dimusnahkan.
Agama hadir dalam rangka merespon masalah/sesuatu yang menyimpang dalam masyarakat. Dalam menghadapi arus globalisasi budaya, perlu adanya penguatan religiusitas/pemahaman nilai-nilai keagamaan. Agama memiliki “tanggung jawab sosial” (global responsibility) untuk menyelesaikan pelbagai problematika yang terjadi ditengah masyarakat multikultural seperti Indonesia.
Agama dalam hal ini memiliki peranan menanamkan nilai-nilai ajaran yang mengacu pada tatanan sosial dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur kebudayaan. Agama dan budaya harus saling sinkron dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Sehingga pergeseran budaya yang terjadi kini dapat terminimalisir dengan adanya pemahaman dan penerapan nilai-nilai agama.

2.3 Harapan dari adanya proses Akulturasi dan Akulturasi
Budaya Bangsa
Proses Akulturasi dan Inkulturasi ditengah arus globalisasi saai ini adalah yang wahar terjadi. Saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Dalam hal ini media memiliki perananan penting untuk menstransformasikan pesan-pesan budaya. Fenomena ini tentu saja membawa dampak pada masuknya nilai-nilai budaya asing kedalam masyarakat.
Sebenarnya proses Akulturasi dan Inkulturasi adalah sesuatu yang harus disikapi dengan bijak. Banyak arus informasi budaya asing yang membawa inovasi pada budaya lokal yang seharusnya tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya lokal. Contoh kecil, pementasan tari atau acara sejenis lainnya, kini dapat lebih bergairah dengan sajian teknologi modern.
Namun tidak dapat dipungkiri, fenomena masuknya budaya asing juga telah banyak menggeser nilai-nilai budaya lokal masyarakat. Masalahnya sekarang adalah tinggal bagaimana kita menyikapinya. Salah satunya adalah dengan memainkan peranan agama melalui penanaman nilai-nilai agama sebagai acuan tatanan hidup yang baik. Perlu ada sinkronisasi nilai-nilai budaya dengan nilai-nilai agama sehingga penerapan budaya dapat tercermin dengan cara-cara yang benar.